M.Haris Effendi MSi: From Medan With Dreams

Selamat Datang di Blog Saya. Wadah tumpahan pikiran, renungan, dan rasa dari anak Medan yang insyaAllah sebentar lagi akan mencapai mimpinya menyandang gelar Doktor di bidang science education dari The University of Queensland Brisbane Australia. Silahkan anda membaca tulisan di blog ini semoga ada manfaat yang bisa anda petik darinya. Terimakasih

Wednesday, December 23, 2009

Constructivism Theory

Pemahaman tentang teori konstruktivisme sangat beragam dan berbeda, malah banyak yang memiliki misconception terhadapnya.

Teori konstruktivisme tidak meminta murid untuk membangun ilmu, tetapi adalah murid yang secara terbimbing (bukan guru) menempelkan/menyambungkan ilmu/pengetahuan baru pada fondasi/cabang yang telah ada sebelumnya, atau menempelkan ilmu/pengetahuan baru yang sejenis dan memiliki kaitan pada rangkaian/cabang ilmu yang sudah ada di ranah kognitif anak.

Proses penempelan atau penyambungan (yang diawali dengan usaha pencarian) ini sebaiknya bukanlah dengan total mendengarkan penjelasan dari guru apalagi dengan menghafal, namun guru sebaiknya memberikan sarana/fasilitas dan bimbingan kepada murid untuk melakukan hands-on activities atau kegiatan langsung, sehingga murid akan mendapatkan sendiri makna / kesimpulan dari kegiatan yang dilakukan dan hal itu dapat bertahan lama pada ingatan murid.

Hasil riset menunjukkan bahwa dengan melakukan hands-on activities maka tingkat pencapaian murid pada beberapa pelajaran mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibanding dengan metode ceramah.

sebagai contoh penerapan :

jika guru ingin mengajarkan perkalian, (daripada meminta murid menghafalkan perkalian) maka sebaiknya guru mengajak murid-murid nya melakukan aktifitas berupa penjumlahan berulang menggunakan media atau objek seperti lidi / batang / batu, dll.

Murid diminta untuk melakukan penjumlahan berulang sehingga akhirnya murid akan melihat dan menyadari bahwa, sbg contoh ; 8 itu adalah penjumlahan berulang dari 2 sebanyak 4 kali (2+2+2+2) , atau penjumlahan berulang dari 4 sebanyak 2 kali (4+4), dan selanjutnya. Demikian sampai akhirnya murid menyadari bahwa perkalian itu tidak wajib dihafalkan, namun perlu dipahami bahwa dengan mengetahui penjumlahan (dalam hal ini penjumlahan berlaku sebagai cabang ilmu sebelumnya tempat perkalian di sambungkan) maka perkalian akan bisa dilakukan.

Murid akan menemukan hubungan antara penjumlahan dan perkalian, sehingga dapat dikatakan murid telah mengkonstruk ilmu bagi dirinya. Bandingkan dengan yang biasa dilakukan guru. Guru meminta murid menghafal perkalian, namun tidak menunjukkan hubungannya dengan penjumlahan, sehingga murid tidak tahu mau ditempelkan dimana perkalian dalam susunan kognitif nya.

Lalu timbul pertanyaan, jika tidak hafal perkalian maka murid akan menemukan kesulitan dalam soal2 perkalian. Maka jawabannya adalah bantu murid untuk mendapatkan kondisi agar mereka secara tidak sengaja menghafal (memorizing) perkalian dengan cara memberikan latihan sebanyak-banyaknya menggunakan semua angka, juga dengan menempelkan foster-foster perkalian dikelas dan dirumah (sebagai ganti dengan meminta murid menghafal dan menyetor hafalannya ke depan kelas). Jadi murid akan hafal karena pembiasaan dan kegiatan ini tidak membebani anak. Ingat prinsip learn, fun, and grow bukan learn, stress, and grow.

Inilah yang dulu diminta CBSA (cara belajar siswa aktif), maksudnya guru memberikan kegiatan kepada murid dalam mencari dan mengkonstruk ilmu (menyambung ilmu). Namun sangat disayangkan CBSA tidak berhasil karena kurangnya pemahaman guru dan sekolah akan misi kurikulum ini dan juga kurangnya keahlian (dan training) dalam menggunakan metode yang sesuai untuk memenuhi keinginan CBSA.

Penguasaan terhadap materi pelajaran adalah mutlak dan tidak perlu disinggung lagi. Maka pengusaan pedagogical skill (keterampilan mengajar dan menggunakan metode yang variatif dan sesuai dengan isi pelajaran) berada pada urutan pertama sebagai syarat untuk menjadi guru professional. Dengan memiliki pedagogic skill yang memadai maka guru akan mampu membimbing murid bagaimanapun level kognitif dan daya nalarnya, karena guru yang baik akan tahu sejauh mana dia dapat melepas muridnya dan sejauh mana dia harus membantu muridnya.

KBK meminta guru menanamkan kompetensi (kemampuan) pada murid dan untuk itu KBK menganjurkan agar guru menggunakan active learning methods, termasuk inquiry methods (coba baca lagi Kurikulum 2004 tentang KBK). Nah akan menjadi pertanyaan : Bagaimanakah guru-guru di Indonesia menyikapi KBK dan metode apa yang umumnya mereka gunakan dalam mengajar? Apakah KBK akan bernasib sama dengan CBSA?

Memang benar bahwa ada mata pelajaran yang memang tidak bisa digunakan metode hands-on activities atau active learning, maka sebaiknya guru-guru pengajar mata pelajaran ini mencari cara agar kegiatan belajar tidak dijejali dengan ceramah dan menghafal yang membosankan. Mungkin sesekali dapat dilakukan field trip, dll.

Kegiatan belajar seperti ini (menggunakan hands-on activities) sudah banyak dilakukan di sekolah-sekolah modern di Jakarta dan kota-kota besar lainya di Indonesia, apalagi sekolah-sekolah di luar negeri. Dan saya yakin suatu saat Indonesia akan mampu mengadopsi metode ini (dengan melakukan reformasi dalam dunia pendidikan) karena telah teruji secara ilmiah mampu membantu murid meningkatkan prestasi dan minat belajarnya.

Semoga bermanfaat

Monday, December 21, 2009

Professionalisme guru : Fasilitator vs Content Transmitter

Pendidikan adalah proses penggabungan antara teaching and learning. Berhasilnya usaha learning yang dilakukan oleh peserta didik ditentukan oleh teaching yang di lakukan oleh guru.

Guru yang baik harus berperan sebagai fasilitator bukannya content transmitter, apalagi diktator. Guru sebagai fasilitator adalah guru yang mengemban paradigma constructivism didalam aktivitas mengajarnya. Artinya adalah murid lah yang meng konstruk / membangun sendiri pengetahuan didalam dirinya, tugas guru hanyalah sebagai stimulator atau pemberi rangsangan. Jadi bukan guru yang meng konstruk ilmu bagi murid. Jika bukan ini yang dilakukan oleh guru maka guru telah melakukan tugas hanya sebagai content transmitter / pemindah ilmu, yang mana probability untuk melekat di ranah kognitif anak tidak akan sebaik jika guru berperan sebagai fasiltitor.

Guru sebagai fasilitator berarti bahwa guru harus menggunakan metode student-centered learning bukannya teacher-centered learning. Dengan metode yang pertama maka murid akan menemukan keasyikan didalam mempelajari ilmu yang akan dia konstruk dan potensi murid akan tumbuh dengan baik, namun jika guru menggunakan metode kedua maka akan timbul kejenuhan bagi siswa didalam proses belajar.

Metode student-centered learning dapat berupa inquiry, discussion, collaborative learning, practicum, tutorial, dan problem solving (silahkan baca sendiri detail teorinya) sedangkan metode teacher-centered learning biasanya berupa ceramah yang di ikuti dengan mencatat dan menghapal.

Menjadi guru professional dapat dilmulai dari usaha untuk merubah diri dari seorang content transmitter menjadi fasilitator atau juga learning manager. Namun untuk dapat melakukan itu tidaklah mudah karena banyak faktor yang menentukan. Diantaranya adalah believe yang dimiliki guru terhadap learning outcome, school, and student; fasilitas; curriculum (curriculum Indonesia terkenal selalu overloaded); ujian nasional yang menentukan kelulusan spt UN; dan tersedianya training / workshop (professional development program).

Dengan melakukan student-centered learning maka kemampuan bertanya dan menjawab, critical thinking, dan kemampuan mencari jawaban akan apa yang sedang dicari oleh siswa akan terbentuk didalam proses pembentukan ilmunya. Akibatnya akan tercipta ilmuwan-ilmuwan kecil di dalam kelas yang nantinya akan terus menapaki langkahnya menjadi calon-calon ilmuwan masa depan.

Belajar haruslah memiliki prinsip learn, fun, and grow bukannya learn, stress, and grow. Untuk itu guru sebagai ujung tombak pendidikan memiliki tanggung jawab terbesar didalam menciptakan suasana belajar yang fun untuk membantu siswa tumbuh menjadi dirinya sendiri bukannya menjadi robot-robot kecil yang ahli menghafal dan mencatat saja.

Semoga Sertifikasi akan diarahkan kepada terciptanya guru yang professional, bukannya guru yang dihantui dengan UN dan beban mengajar yang harus 24 jam / minggu. Bukan itu jaminan professionalitas seorang guru. Namun professionalitas guru ditentukan oleh sejauh mana guru tersebut mampu membantu menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi muridnya dalam mengkonstruk ilmunya sendiri dengan bertindak sebagai fasilitator bukannya diktator ataupun content transmitter. Sudah saatnya paradigma pendidikan Indonesia berubah jika ingin meningkatkan mutunya.