M.Haris Effendi MSi: From Medan With Dreams

Selamat Datang di Blog Saya. Wadah tumpahan pikiran, renungan, dan rasa dari anak Medan yang insyaAllah sebentar lagi akan mencapai mimpinya menyandang gelar Doktor di bidang science education dari The University of Queensland Brisbane Australia. Silahkan anda membaca tulisan di blog ini semoga ada manfaat yang bisa anda petik darinya. Terimakasih

Monday, December 21, 2009

Professionalisme guru : Fasilitator vs Content Transmitter

Pendidikan adalah proses penggabungan antara teaching and learning. Berhasilnya usaha learning yang dilakukan oleh peserta didik ditentukan oleh teaching yang di lakukan oleh guru.

Guru yang baik harus berperan sebagai fasilitator bukannya content transmitter, apalagi diktator. Guru sebagai fasilitator adalah guru yang mengemban paradigma constructivism didalam aktivitas mengajarnya. Artinya adalah murid lah yang meng konstruk / membangun sendiri pengetahuan didalam dirinya, tugas guru hanyalah sebagai stimulator atau pemberi rangsangan. Jadi bukan guru yang meng konstruk ilmu bagi murid. Jika bukan ini yang dilakukan oleh guru maka guru telah melakukan tugas hanya sebagai content transmitter / pemindah ilmu, yang mana probability untuk melekat di ranah kognitif anak tidak akan sebaik jika guru berperan sebagai fasiltitor.

Guru sebagai fasilitator berarti bahwa guru harus menggunakan metode student-centered learning bukannya teacher-centered learning. Dengan metode yang pertama maka murid akan menemukan keasyikan didalam mempelajari ilmu yang akan dia konstruk dan potensi murid akan tumbuh dengan baik, namun jika guru menggunakan metode kedua maka akan timbul kejenuhan bagi siswa didalam proses belajar.

Metode student-centered learning dapat berupa inquiry, discussion, collaborative learning, practicum, tutorial, dan problem solving (silahkan baca sendiri detail teorinya) sedangkan metode teacher-centered learning biasanya berupa ceramah yang di ikuti dengan mencatat dan menghapal.

Menjadi guru professional dapat dilmulai dari usaha untuk merubah diri dari seorang content transmitter menjadi fasilitator atau juga learning manager. Namun untuk dapat melakukan itu tidaklah mudah karena banyak faktor yang menentukan. Diantaranya adalah believe yang dimiliki guru terhadap learning outcome, school, and student; fasilitas; curriculum (curriculum Indonesia terkenal selalu overloaded); ujian nasional yang menentukan kelulusan spt UN; dan tersedianya training / workshop (professional development program).

Dengan melakukan student-centered learning maka kemampuan bertanya dan menjawab, critical thinking, dan kemampuan mencari jawaban akan apa yang sedang dicari oleh siswa akan terbentuk didalam proses pembentukan ilmunya. Akibatnya akan tercipta ilmuwan-ilmuwan kecil di dalam kelas yang nantinya akan terus menapaki langkahnya menjadi calon-calon ilmuwan masa depan.

Belajar haruslah memiliki prinsip learn, fun, and grow bukannya learn, stress, and grow. Untuk itu guru sebagai ujung tombak pendidikan memiliki tanggung jawab terbesar didalam menciptakan suasana belajar yang fun untuk membantu siswa tumbuh menjadi dirinya sendiri bukannya menjadi robot-robot kecil yang ahli menghafal dan mencatat saja.

Semoga Sertifikasi akan diarahkan kepada terciptanya guru yang professional, bukannya guru yang dihantui dengan UN dan beban mengajar yang harus 24 jam / minggu. Bukan itu jaminan professionalitas seorang guru. Namun professionalitas guru ditentukan oleh sejauh mana guru tersebut mampu membantu menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi muridnya dalam mengkonstruk ilmunya sendiri dengan bertindak sebagai fasilitator bukannya diktator ataupun content transmitter. Sudah saatnya paradigma pendidikan Indonesia berubah jika ingin meningkatkan mutunya.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home