M.Haris Effendi MSi: From Medan With Dreams

Selamat Datang di Blog Saya. Wadah tumpahan pikiran, renungan, dan rasa dari anak Medan yang insyaAllah sebentar lagi akan mencapai mimpinya menyandang gelar Doktor di bidang science education dari The University of Queensland Brisbane Australia. Silahkan anda membaca tulisan di blog ini semoga ada manfaat yang bisa anda petik darinya. Terimakasih

Friday, February 22, 2013

Relasi antara Agama dan Tindakan Korupsi: Sebuah otokritik


Beberapa tahun silam, tepatnya di tahun 2007, sebuah hasil riset yang dilakukan oleh Transpransi International (TI), sebuah lembaga yang memfokuskan diri mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan governance and anti-corruption, menyatakan bahwa kurang relevansinya hubungan antara agama dan prevalensi praktek korupsi. Penelitian yang melibatkan pengumpulan data tak kurang dari 185 negara dengan latar belakang agama yang sangat beragam ini termasuk Indonesia dan sejumlah Negara Timur Tengah, menunjukkan hasil bahwa dalam masyarakat dengan tingkat kepercayaan agama yang tinggi memiliki Corruption Perception Index (CPI) yang juga tinggi (S.Douglas Beets, 2007). Hasil riset ini sepertinya hendak mengatakan bahwa nilai-nilai normative yang mulia yang di kandung dan diajarkan oleh sebuah agama terlihat tidak berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakatnya, terutama dalam hal perilaku korupsi. Lalu ada kesimpulan dari riset tersebut yang sedikit membuat miris kita selaku umat islam adalah bahwa negara-negara yang masyarakatnya tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang penting  justru memiliki CPI yang rendah, namun sebaliknya masyarakat muslim yang selalu megutamakan agama sebagai bagian yang penting dalam kehidupan justru memiliki CPI tinggi. Perlu digaris bawahi agar tidak salah memahami bahwa hasil riset ini, menurut pemahaman penulis, tidak mengatakan bahwa ajaran agama tidak mengajarkan umatnya agar menghindari korupsi, justru sebaliknya setiap agama manapun pasti mengingatkan umatnya untuk jujur dan tidak menguasai hak orang lain, cuma saja para pemeluk  agama itu sendirilah yang belum mampu menerapkan dan menggunakan nilai-nilai agama yang  luhur itu untuk mencegah dirinya dari perbuatan tercela korupsi. 

Namun, terlepas dari pemahaman bahwa ada banyak faktor lain selain faktor agama yang ikut berperan didalam mempengaruhi sikap seseorang untuk melakukan tindakan korupsi, seperti kualitas demokrasi dan penegakan hukum yang lemah,  hasil riset ini meluluh-lantakkan ekspektasi masyarakat religius seperti Indonesia yang selalu meyakini bahwa system nilai spiritual yang diajarkan oleh agama bisa menjadi kontrol terhadap potensi perilaku korupsi.
Terlepas dari kritikan terhadap kesimpulan riset tersebut, hasil riset tersebut bisa jadi benar adanya dan me-representasikan kondisi real Indonesia yang majoritas adalah umat islam karena jika kita mau kembali melihat ranking Indonesia di jajaran negara terkorup dunia, kita pantas bersedih karena ranking Indonesia pada tahun 2012 turun menjadi 118 dibandingkan ranking pada 2011 yang berada pada posisi 105 dari 182 negara ‘terbersih’ didunia (sumber Lembaga Transparansi International; http://indonesiagituloh.com/id/minternasional-2/1057-indeks-persepsi-korupsi-2012-indonesia-ranking-ke-118). 

Disamping kedua hasil riset dan survey diatas yang sepertinya sepakat dengan satu kesimpulan, bukti empiris dengan mudah dapat dicari untuk menjustifikasi kesimpulan riset tersebut. Sebagai contoh, segala kasus dugaan korupsi yang terjadi di Indonesia dan ditangani KPK hingga kini mayoritas dilakukan oleh ‘orang-orang yang mengaku islam’, atau memiliki KTP islam. Bisa disebutkan seperti Al Amin Nasution adalah kader sebuah partai islam, Nazarudin tentulah mengaku sebagai orang islam, Anas Urbaningrum yang diduga terlibat kasus Hambalang adalah mantan ketua umum organisasi islam mahasiswa, mantan menteri agama beberapa periode silam yang terlibat kasus korupsi penyalah gunaan dana haji pastilah beragama islam (http://www.sindoweekly-magz.com/artikel/19/i/12-18-juli-2012/mainreview/92/mengobok-obok-dana-haji), dan kasus teranyar adalah ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang diduga akan menerima suap sebesar Rp.1 milyar dari Rp.40 milyar yang dijanjikan oleh sebuah perusahan importer daging sebagai hadiah atas jasa beliau menggunakan pengaruhnya pada keputusan penambahan kuota import daging bagi perusahaan dimaksud, di kementerian pertanian. Kasus ini juga menyeret anak salah seorang petinggi partai tersebut, Ridwan Hakim, yang juga dicurigai ikut ‘bermain’. Bahkan Menteri Pertanian yang merupakan kader partai itu telah pula dipanggil oleh Presiden untuk memberikan penjelasannya (Tempo, edisi 24 februari 2013). 

Kasus-kasus besar yang dicuplik diatas dapat dijadikan justifikasi terhadap hasil riset TI yang mengatakan bahwa nilai-nilai agama tidak berpengaruh besar terhadap perilaku umatnya, terutama dalam perilaku korupsi. Padahal para pelaku korupsi yang dikutip diatas sebagian besar adalah orang-orang ‘terhormat’ yang memiliki posisi strategis baik didalam dunia keislaman, politik, maupun sosial kemasyarakatan. Sangat disayangkan!

Lalu, apakah faktor yang ikut menentukan jika faktor religious (seperti tingkat keimanan dan pengusaan ilmu agama) terlihat tidak berpengaruh signifikan? Ada beberapa argument yang akan coba digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Gagalnya internalisasi nilai dan ilmu agama 

Islam sebagai sebuah ajaran harus dipandang sebagai sebuah system tata nilai yang harus di fungsikan dan dijadikan way of life bagi pemeluknya. Namun, untuk dapat memfungsikan islam ditengah masyarakat, diperlukan ilmu yang cukup yang dapat berperan sebagai guideline sekaligus perisai bagi umatnya tatkala dihadapkan pada pilihan-pilihan, termasuk godaan untuk melakukan korupsi. Namun, jika ilmu yang dimiliki tidak mampu membentengi seseorang dari tindakan tercela, maka dapat diasumsikan bahwa ilmu yang dimiliki belum mengakar dalam diri dan belum membentuk karakter baik pada diri sipemilik ilmu. Hal ini diperkirakan terjadi karena gagalnya atau tidak terjadinya internalisasi nilai-nilai yang seharusnya mampu menjembatani hubungan antara ilmu dan amal. Hasilnya, ilmu hanya dipandang sebagai sebuah fakta dan nilai yang tertulis diatas kertas namun gering dengan implementasi. Meminjam istilah dari dunia pendidikan, bahwa dengan memiliki ilmu (kognitif) yang baik saja tidak cukup bagi seseorang untuk mampu melakukan sesuatu (psikomotorik). Harus ada afektif atau penghargaan, appresiasi dan kecintaan akan pentingnya mengamalkan ilmu tersebut yang pada gilirannya akan memberikan daya dorong untuk berkarya dan melakukan hal baik, termasuk menghindarkan diri dari tindakan tercela. 

Oleh karena itu upaya menginternalisasi nilai-nilai agama sifatnya wajib agar ilmu dan amal dapat berjalan selaras karena internalisasi nilai-nilai akan membentuk kepribadian atau karakter seseorang. Lalu, jika demikian, bisa jadi para koruptor yang mayoritas muslim disebutkan diatas lupa untuk atau bahkan gagal meng-internalisasi nilai-nilai agama yang telah diketahui dan dipahami dengan baik. Tak heran jika seolah-olah ilmu yang tinggi dan iman yang kuat tak berperan banyak didalam kehidupan mereka, dalam konteks menghindari tindakan korupsi.

Oleh karena itu, untuk mendidik generasi Indonesia masa depan yang lebih mampu meng-implementasikan ilmu didalam kehidupan secara selaras, perlu adanya usaha untuk mereformasi kurikulum dengan menyisipkan materi keperibadian luhur didalam kurikulum, sehingga bukan hanya memiliki ilmu, namun siswa juga mampu berkarya dan menampilkan dirinya sebagai manusia yang utuh. Thus, kurikulum 2013 yang sedang digodok Depdiknas yang lebih fokus kepada pembentukan ‘karakter baik’ bangsa diharapkan mampu memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia, bukan hanya secara quantitas namun lebih pada kualitas. Pendekatan dimaksud hanya dapat dicapai dengan memberikan kesempatan pada anak untuk menginternalisasi nilai dan ilmu yang telah diajarkan, dan mengaktualisasikan nya dalam keseharian. Contoh dan tauladan menjadi sangat penting dalam usaha ini karena siswa cenderung mencari raw model sebagai pembenaran untuk setiap tindakan yang dilakukannya. 

Lalu bagamanakah dengan iman?

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa iman pada diri seseorang akan mengalami pasang surut. Terkadang bisa naik dan terkadang turun. Banyak faktor yang menentukan kuat lemahnya iman seseorang, dan salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Dengan memiliki ilmu yabng baik idealnya iman seseorang juga akan semakin baik. 

Tapi, apakah iman para pelaku korupsi - yang sebagian besar disebutkan diatas dapat digolongkan sebagai orang yang berilmu dan mengerti ajaran islam dengan baik, sedang turun ketika melakukan korupsi? Jawabannya bisa ya ataupun tidak. 

Ya, benar, jika tindakan korupsi tersebut adalah yang pertama dilakukan. Sebagai manusia pelaku bisa jadi khilaf, lalu bertaubat dan mengembalikan uang haram tersebut. Sangat manusiawi. Namun jawabannya bisa jadi salah, karena menurut informasi yang diberitakan di majalah Tempo edisi 17 Februari 2013 bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh kader PKS bukanlah yang pertama. Sebelumnya mereka telah terendus oleh para wartawan memainkan permainan pengadaan benih masih dikementerian yang sama beberapa waktu silam. Lalu, apakah mereka yang me-labeli dirinya sebagai partai bersih anti-korupsi dan terdiri atas para dai dan pendakwah itu, selalu mengalami turun-iman saat melakukan korupsi? Namun tidak pernah bertaubat setelahnya? Atau malah mungkin tidak merasa bersalah melakukan korupsi berulang-ulang? Atau malah mereka mengalami masalah dengan imannya.

Lalu, jika kita bandingkan dengan figure ‘non-religius’ semacam Jokowi - yang sejak dari Solo hingga menjadi DKI-1 selalu transparans dalam management kerjanya sebagai upaya untuk menjaga dirinya terhindar dari tindakan korupsi, apakah bisa dikatakan memiliki tingkat keimanan yang selalu tinggi? Jawabannya bisa ya ataupun tidak.

Ya, jika kita menggunakan premise yang sama bahwa iman akan menentukan kualitas amal seseorang. Berarti sampai hari ini Jokowi memiliki iman yang lebih kokoh, lebih konsisten, dan lebih terjaga dibanding para dai diatas karena sampai hari ini beliau masih terlihat ‘bersih’. Hebat! Namun jawabannya bisa jadi salah, karena di dalam perspektif keislaman tidak ada manusia yang imannya selalu terjaga senantiasa dan terhindar dari dosa, kecuali Rasulullah SAW. Berarti, Jokowi pasti juga mengalami pasang surut  iman dalam hidupnya. Lumrah sebagai manusia! Namun kok beliau tetap kuat menjaga dirinya agar terhindar dari korupsi tatkala imannya melorot? Berarti ada faktor lain yang ukut menentukan selain ilmu dan iman. Maka, dapat disimpulkan bahwa iman dan ilmu tidak selalu berpengaruh besar kepada terjaganya seseorang dari perbuatan tercela, karena masih ada faktor lain yang ikut berperan. Argument ini juga atributif kepada hasil riset TI diatas yang menyatakan bahwa kurang relevansinya hubungan antara agama (termasuk didalamnya nilai, ilmu dan iman) dan prevalensi praktek korupsi.

 Perlunya Sebuah Integritas 

You mean what you said and you said what you mean, adalah slogan yang seharusnya tertanam dihati dan dibenak para politikus kita, termasuk para pengemplang uang rakyat itu, dan terwujud dalam ‘gesture’ keseharian mereka. Kerinduan rakyat akan figure semacam itu seharusnya dapat di tampilkan oleh tokoh-tokoh agama semacam mereka karena mereka dianggap ‘lebih sempurna’ dibanding tokoh ‘non-religius’ semacam Jokowi karena mereka lebih memiliki  kelengakapan dalam hal ilmu agama, iman dan kesalehan. Tapi kok malah Jokowi yang sukses menampilkan diri lebih sempurna dibanding mereka dihadapan masyarakat? Jokowi lebih memiliki integritas dibanding mereka, itu jawabannya. 

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata integritas didefinisikan sebagai :“mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan , kejujuran”. Kunci dari arti kata ‘integritas’ adalah ‘keutuhan, kesatuan’ yang memang disifati dengan kejujuran dan kewibawaan. Jadi integritas dapat dimaknai sabagai  ‘keutuhan diri’, atau ‘keutuhan pribadi’ antara komponen lahir maupun batin, yang terdiri dari: jiwa, hati, perasaan, penglihatan, pendengaran, diri, ruh (semuanya tergolong afektif) dan akal pikiran (tergolong kognitif). Kesatuan utuh antara komponen afektif dan kognitif inilah yang dimaknai sebagai ‘integritas’. Dengan integritas yang baik akan menentukan amal (psikomotorik) yang baik pula.
Perbedaan dalam hal kualitas integritas ini bisa jadi memberikan perbedaan cara pandang atas peran dan fungsi mereka sebagai khalifal fil ardh, pemimpin diatas bumi ini. Pihak pertama dan termasuk juga para pengemplang uang rakyat lainnya mungkin memandang jabatan dan kekuasaan sebagai sebuah hadiah dimana ianya dapat digunakan untuk memberikan kesenangan pada sang pemangku. Apalagi jika dipandang sebagai lahan subur untuk mengeruk keuntungan, memperbesar kekayaan. Aji mumpung secara negative.

Namun, golongan kedua, bukan hanya Jokowi namun juga termasuk tokoh-tokoh lain yang hingga kini masih bersih dari tindakan korupsi seperti Dahlan Iskan, dll, mungkin memandang jabatan dan kekuasaan sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan, bukan sebagai hadiah, apalagi sebagai lahan untuk mengeruk keuntungan dan memperkaya diri dan golongannya. Sebaliknya, dari ‘gesture’ mereka yang sederhana, masyarakat dapat dengan mudah menebak bahwa mereka sepertinya memandang jabatan dan kekuasaan sebagai ladang amal untuk membahagiakan orang banyak. Aji mumpung secara positif.

Perbedaan dalam kualitas integritas ini adalah ‘supporting evidence’ yang semakin memperkuat discourses tentang ‘tidak kuatnya relasi antara tingkat keagamaan seseorang dengan kepatuhan  untuk menjalankan hukum normatif’. 

Cara pandang pada, dan kesadaran akan, tanggung jawab yang diemban sebagai pejabat public sepertinya tidak hanya didapatkan melalui kepemilikan ilmu agama yang tinggi dan iman yang kuat saja, dan hal-hal lain semacamnya, namun dapat juga diperoleh dengan selalu mengasah ‘hati’ dan indera didalam memaknai, meresapi dan meng-empati situasi sosio-politik masyarakat yang notabene masih banyak berada dibawah garis kemiskinan dan terus berharap akan tampilnya figure-figur jujur yang bersungguh-sungguh dengan apa yang akan dia lakukan dan mampu melakukan apa yang dia janjikan. Ironi sekali jika pada akhirnya kita harus berkata bahwa para pelaku korupsi adalah orang-orang yang pantas dipertanyakan integritasnya.  Labih parah lagi jika kita harus berkata bahwa para koruptor adalah ‘ORANG-ORANG YANG TIDAK PUNYA INTEGRITAS. 

Sekian

2 Comments:

At December 30, 2013 at 2:53 PM , Blogger Unknown said...

salam hijau hitam bg.
minta alamat email abg lah..

ini taufik adik koms FMIPA unimed bg

 
At February 5, 2016 at 5:44 PM , Blogger Agrowisata Ariza Farm said...

Melalui fasilitas yang tersedia di Pesantren Darul Amal dan Kebun Buah-Buahan Ariza Farm, kami memberikan kesempatan kepada Instansi pemerintah dan swata, sekolah dari tingkat TK s/d SLTA maupun perguruan tinggi atau keluarga untuk mengadakan kegiatan wisata rohani, pelatihan, perkemahan pramuka dan wisata desa di komplek Pesantren Darul Amal. Khusus bagi KBIH yang punya jamaah calon haji maupun umrah, kami sediakan tempat praktek dan bahan pelatihan manasik haji dan umrah.
Pengunjung bisa bermalam di Lokasi Pesantren Darul Amal sambil mengikuti kegiatan pengajian dan pelatihan yang diberikan oleh Ariza Farm maupun Pesantren Darul Amal, menikmati suasana malam ditengah perkebunan yang tenang dan suasana pagi yang segar serta kicauan burung di pagi hari dengan berjalan santai di tengah kebun maupun mengikuti jalur tracking yang ada.


Selama berada di Pesantren Darul Amal pengunjung bisa mengikuti sholat berjamaah secara teratur, ditambah Kultum sesudah Zuhur, Magrib dan Subuh. Disamping itu pengunjung juga bisa berkonsultasi agama, konsultasi masalah keluarga (parenting), konsultasi dan pelatihan merencanakan masa depan serta konsultasi bisnis kecil dengan Nara Sumber yang kompeten dan berpengalaman dibidangnya.
Biaya yang dibebankan kepada pengunjung adalah konsumsi, penginapan, honor Nara Sumber, yang besarnya dihitung per kepala dan dapat dinegosiasikan.
Konfirmasi kunjungan:
Bagi kunjungan dengan rombongan diharapkan memberitahu seminggu sebelumnya, agar kami dapat mempersiapkan segala sesuatunya. Contact Person H. Zahari Zakaria BSc. HP. 081374142309
Contact Person : H. Zahari Zakaria HP.081374142309

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home