Beberapa
tahun silam, tepatnya di tahun 2007, sebuah hasil riset yang dilakukan oleh Transpransi
International (TI), sebuah lembaga yang memfokuskan diri mengkaji hal-hal yang
berkaitan dengan governance and
anti-corruption, menyatakan bahwa kurang relevansinya hubungan antara agama
dan prevalensi praktek korupsi. Penelitian yang melibatkan pengumpulan data tak
kurang dari 185 negara dengan latar belakang agama yang sangat beragam ini
termasuk Indonesia dan sejumlah Negara Timur Tengah, menunjukkan hasil bahwa
dalam masyarakat dengan tingkat kepercayaan agama yang tinggi memiliki Corruption Perception Index (CPI) yang
juga tinggi (S.Douglas Beets, 2007). Hasil riset ini sepertinya hendak mengatakan
bahwa nilai-nilai normative yang mulia yang di kandung dan diajarkan oleh
sebuah agama terlihat tidak berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakatnya,
terutama dalam hal perilaku korupsi. Lalu ada kesimpulan dari riset tersebut
yang sedikit membuat miris kita selaku umat islam adalah bahwa negara-negara
yang masyarakatnya tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang penting justru memiliki CPI yang rendah, namun
sebaliknya masyarakat muslim yang selalu megutamakan agama sebagai bagian yang
penting dalam kehidupan justru memiliki CPI tinggi. Perlu digaris bawahi agar tidak salah memahami bahwa hasil
riset ini, menurut pemahaman penulis, tidak mengatakan bahwa ajaran agama tidak
mengajarkan umatnya agar menghindari korupsi, justru sebaliknya setiap agama
manapun pasti mengingatkan umatnya untuk jujur dan tidak menguasai hak orang
lain, cuma saja para pemeluk agama itu
sendirilah yang belum mampu menerapkan dan menggunakan nilai-nilai agama
yang luhur itu untuk mencegah dirinya
dari perbuatan tercela korupsi.
Namun,
terlepas dari pemahaman bahwa ada banyak faktor lain selain faktor agama yang
ikut berperan didalam mempengaruhi sikap seseorang untuk melakukan tindakan
korupsi, seperti kualitas demokrasi dan penegakan hukum yang lemah, hasil riset ini meluluh-lantakkan ekspektasi
masyarakat religius seperti Indonesia yang selalu meyakini bahwa system nilai
spiritual yang diajarkan oleh agama bisa menjadi kontrol terhadap potensi
perilaku korupsi.
Terlepas
dari kritikan terhadap kesimpulan riset tersebut, hasil riset tersebut bisa
jadi benar adanya dan me-representasikan kondisi real Indonesia yang majoritas
adalah umat islam karena jika kita mau kembali melihat ranking Indonesia di
jajaran negara terkorup dunia, kita pantas bersedih karena ranking Indonesia pada
tahun 2012 turun menjadi 118 dibandingkan ranking pada 2011 yang berada pada
posisi 105 dari 182 negara ‘terbersih’ didunia (sumber Lembaga Transparansi
International; http://indonesiagituloh.com/id/minternasional-2/1057-indeks-persepsi-korupsi-2012-indonesia-ranking-ke-118).
Disamping
kedua hasil riset dan survey diatas yang sepertinya sepakat dengan satu kesimpulan,
bukti empiris dengan mudah dapat dicari untuk menjustifikasi kesimpulan riset
tersebut. Sebagai contoh, segala kasus dugaan korupsi yang terjadi di Indonesia
dan ditangani KPK hingga kini mayoritas dilakukan oleh ‘orang-orang yang
mengaku islam’, atau memiliki KTP islam. Bisa disebutkan seperti Al Amin
Nasution adalah kader sebuah partai islam, Nazarudin tentulah mengaku sebagai
orang islam, Anas Urbaningrum yang diduga terlibat kasus Hambalang adalah
mantan ketua umum organisasi islam mahasiswa, mantan menteri agama beberapa
periode silam yang terlibat kasus korupsi penyalah gunaan dana haji pastilah
beragama islam (http://www.sindoweekly-magz.com/artikel/19/i/12-18-juli-2012/mainreview/92/mengobok-obok-dana-haji),
dan kasus teranyar adalah ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
yang diduga akan menerima suap sebesar Rp.1 milyar dari Rp.40 milyar yang
dijanjikan oleh sebuah perusahan importer daging sebagai hadiah atas jasa
beliau menggunakan pengaruhnya pada keputusan penambahan kuota import daging
bagi perusahaan dimaksud, di kementerian pertanian. Kasus ini juga menyeret
anak salah seorang petinggi partai tersebut, Ridwan Hakim, yang juga dicurigai
ikut ‘bermain’. Bahkan Menteri Pertanian yang merupakan kader partai itu telah
pula dipanggil oleh Presiden untuk memberikan penjelasannya (Tempo, edisi 24
februari 2013).
Kasus-kasus
besar yang dicuplik diatas dapat dijadikan justifikasi terhadap hasil riset TI
yang mengatakan bahwa nilai-nilai agama tidak berpengaruh besar terhadap
perilaku umatnya, terutama dalam perilaku korupsi. Padahal para pelaku korupsi
yang dikutip diatas sebagian besar adalah orang-orang ‘terhormat’ yang memiliki
posisi strategis baik didalam dunia keislaman, politik, maupun sosial
kemasyarakatan. Sangat disayangkan!
Lalu,
apakah faktor yang ikut menentukan jika faktor religious (seperti tingkat
keimanan dan pengusaan ilmu agama) terlihat tidak berpengaruh signifikan? Ada
beberapa argument yang akan coba digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Gagalnya internalisasi nilai dan ilmu agama
Islam
sebagai sebuah ajaran harus dipandang sebagai sebuah system tata nilai yang
harus di fungsikan dan dijadikan way of
life bagi pemeluknya. Namun, untuk dapat memfungsikan islam ditengah
masyarakat, diperlukan ilmu yang cukup yang dapat berperan sebagai guideline
sekaligus perisai bagi umatnya tatkala dihadapkan pada pilihan-pilihan,
termasuk godaan untuk melakukan korupsi. Namun, jika ilmu yang dimiliki tidak
mampu membentengi seseorang dari tindakan tercela, maka dapat diasumsikan bahwa
ilmu yang dimiliki belum mengakar dalam diri dan belum membentuk karakter baik
pada diri sipemilik ilmu. Hal ini diperkirakan terjadi karena gagalnya atau
tidak terjadinya internalisasi nilai-nilai
yang seharusnya mampu menjembatani hubungan antara ilmu dan amal. Hasilnya,
ilmu hanya dipandang sebagai sebuah fakta dan nilai yang tertulis diatas kertas
namun gering dengan implementasi. Meminjam istilah dari dunia pendidikan, bahwa
dengan memiliki ilmu (kognitif) yang
baik saja tidak cukup bagi seseorang untuk mampu melakukan sesuatu (psikomotorik). Harus ada afektif atau penghargaan, appresiasi
dan kecintaan akan pentingnya mengamalkan ilmu tersebut yang pada gilirannya
akan memberikan daya dorong untuk berkarya dan melakukan hal baik, termasuk
menghindarkan diri dari tindakan tercela.
Oleh
karena itu upaya menginternalisasi nilai-nilai agama sifatnya wajib agar ilmu
dan amal dapat berjalan selaras karena internalisasi nilai-nilai akan membentuk
kepribadian atau karakter seseorang. Lalu, jika demikian, bisa jadi para
koruptor yang mayoritas muslim disebutkan diatas lupa untuk atau bahkan gagal
meng-internalisasi nilai-nilai agama yang telah diketahui dan dipahami dengan
baik. Tak heran jika seolah-olah ilmu yang tinggi dan iman yang kuat tak
berperan banyak didalam kehidupan mereka, dalam konteks menghindari tindakan
korupsi.
Oleh
karena itu, untuk mendidik generasi Indonesia masa depan yang lebih mampu
meng-implementasikan ilmu didalam kehidupan secara selaras, perlu adanya usaha
untuk mereformasi kurikulum dengan menyisipkan materi keperibadian luhur
didalam kurikulum, sehingga bukan hanya memiliki ilmu, namun siswa juga mampu
berkarya dan menampilkan dirinya sebagai manusia yang utuh. Thus, kurikulum
2013 yang sedang digodok Depdiknas yang lebih fokus kepada pembentukan
‘karakter baik’ bangsa diharapkan mampu memperbaiki kondisi pendidikan
Indonesia, bukan hanya secara quantitas namun lebih pada kualitas. Pendekatan
dimaksud hanya dapat dicapai dengan memberikan kesempatan pada anak untuk
menginternalisasi nilai dan ilmu yang telah diajarkan, dan mengaktualisasikan
nya dalam keseharian. Contoh dan tauladan menjadi sangat penting dalam usaha
ini karena siswa cenderung mencari raw
model sebagai pembenaran untuk setiap tindakan yang dilakukannya.
Lalu bagamanakah dengan iman?
Rasulullah
SAW pernah bersabda bahwa iman pada diri seseorang akan mengalami pasang surut.
Terkadang bisa naik dan terkadang turun. Banyak faktor yang menentukan kuat lemahnya
iman seseorang, dan salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Dengan memiliki ilmu
yabng baik idealnya iman seseorang juga akan semakin baik.
Tapi,
apakah iman para pelaku korupsi - yang sebagian besar disebutkan diatas dapat
digolongkan sebagai orang yang berilmu dan mengerti ajaran islam dengan baik,
sedang turun ketika melakukan korupsi? Jawabannya bisa ya ataupun tidak.
Ya, benar,
jika tindakan korupsi tersebut adalah yang pertama dilakukan. Sebagai manusia
pelaku bisa jadi khilaf, lalu bertaubat dan mengembalikan uang haram tersebut.
Sangat manusiawi. Namun jawabannya bisa
jadi salah, karena menurut informasi yang diberitakan di majalah Tempo
edisi 17 Februari 2013 bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh kader PKS
bukanlah yang pertama. Sebelumnya mereka telah terendus oleh para wartawan
memainkan permainan pengadaan benih masih dikementerian yang sama beberapa
waktu silam. Lalu, apakah mereka yang me-labeli dirinya sebagai partai bersih
anti-korupsi dan terdiri atas para dai dan pendakwah itu, selalu mengalami
turun-iman saat melakukan korupsi? Namun tidak pernah bertaubat setelahnya?
Atau malah mungkin tidak merasa bersalah melakukan korupsi berulang-ulang? Atau
malah mereka mengalami masalah dengan imannya.
Lalu,
jika kita bandingkan dengan figure ‘non-religius’ semacam Jokowi - yang sejak
dari Solo hingga menjadi DKI-1 selalu transparans dalam management kerjanya
sebagai upaya untuk menjaga dirinya terhindar dari tindakan korupsi, apakah
bisa dikatakan memiliki tingkat keimanan yang selalu tinggi? Jawabannya bisa ya
ataupun tidak.
Ya, jika kita
menggunakan premise yang sama bahwa iman akan menentukan kualitas amal
seseorang. Berarti sampai hari ini Jokowi memiliki iman yang lebih kokoh, lebih
konsisten, dan lebih terjaga dibanding para dai diatas karena sampai hari ini
beliau masih terlihat ‘bersih’. Hebat! Namun
jawabannya bisa jadi salah, karena di dalam perspektif keislaman tidak ada
manusia yang imannya selalu terjaga senantiasa dan terhindar dari dosa, kecuali
Rasulullah SAW. Berarti, Jokowi pasti juga mengalami pasang surut iman dalam hidupnya. Lumrah sebagai manusia! Namun
kok beliau tetap kuat menjaga dirinya agar terhindar dari korupsi tatkala
imannya melorot? Berarti ada faktor lain yang ukut menentukan selain ilmu dan
iman. Maka, dapat disimpulkan bahwa iman dan ilmu tidak selalu berpengaruh besar
kepada terjaganya seseorang dari perbuatan tercela, karena masih ada faktor
lain yang ikut berperan. Argument ini juga atributif kepada hasil riset TI diatas
yang menyatakan bahwa kurang relevansinya hubungan antara agama (termasuk
didalamnya nilai, ilmu dan iman) dan prevalensi praktek korupsi.
Perlunya Sebuah Integritas
You
mean what you said and you said what you mean, adalah slogan
yang seharusnya tertanam dihati dan dibenak para politikus kita, termasuk para
pengemplang uang rakyat itu, dan terwujud dalam ‘gesture’ keseharian mereka.
Kerinduan rakyat akan figure semacam itu seharusnya dapat di tampilkan oleh
tokoh-tokoh agama semacam mereka karena mereka dianggap ‘lebih sempurna’
dibanding tokoh ‘non-religius’ semacam Jokowi karena mereka lebih memiliki kelengakapan dalam hal ilmu agama, iman dan
kesalehan. Tapi kok malah Jokowi yang sukses menampilkan diri lebih sempurna
dibanding mereka dihadapan masyarakat? Jokowi lebih memiliki integritas
dibanding mereka, itu jawabannya.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata integritas
didefinisikan sebagai :“mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan
yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan ,
kejujuran”. Kunci dari arti kata ‘integritas’ adalah ‘keutuhan, kesatuan’
yang memang disifati dengan kejujuran dan kewibawaan. Jadi integritas dapat
dimaknai sabagai ‘keutuhan diri’, atau
‘keutuhan pribadi’ antara komponen lahir maupun batin, yang terdiri dari: jiwa,
hati, perasaan, penglihatan, pendengaran, diri, ruh (semuanya tergolong
afektif) dan akal pikiran (tergolong kognitif). Kesatuan utuh antara komponen
afektif dan kognitif inilah yang dimaknai sebagai ‘integritas’. Dengan integritas
yang baik akan menentukan amal (psikomotorik) yang baik pula.
Perbedaan
dalam hal kualitas integritas ini bisa jadi memberikan perbedaan cara pandang
atas peran dan fungsi mereka sebagai khalifal
fil ardh, pemimpin diatas bumi ini. Pihak pertama dan termasuk juga para
pengemplang uang rakyat lainnya mungkin memandang jabatan dan kekuasaan sebagai
sebuah hadiah dimana ianya dapat digunakan untuk memberikan kesenangan pada
sang pemangku. Apalagi jika dipandang sebagai lahan subur untuk mengeruk
keuntungan, memperbesar kekayaan. Aji mumpung secara negative.
Namun,
golongan kedua, bukan hanya Jokowi namun juga termasuk tokoh-tokoh lain yang
hingga kini masih bersih dari tindakan korupsi seperti Dahlan Iskan, dll,
mungkin memandang jabatan dan kekuasaan sebagai amanah yang harus dipertanggung
jawabkan, bukan sebagai hadiah, apalagi sebagai lahan untuk mengeruk keuntungan
dan memperkaya diri dan golongannya. Sebaliknya, dari ‘gesture’ mereka yang
sederhana, masyarakat dapat dengan mudah menebak bahwa mereka sepertinya
memandang jabatan dan kekuasaan sebagai ladang amal untuk membahagiakan orang
banyak. Aji mumpung secara positif.
Perbedaan
dalam kualitas integritas ini adalah ‘supporting evidence’ yang semakin memperkuat
discourses tentang ‘tidak kuatnya relasi antara tingkat keagamaan seseorang
dengan kepatuhan untuk menjalankan hukum
normatif’.
Cara
pandang pada, dan kesadaran akan, tanggung jawab yang diemban sebagai pejabat
public sepertinya tidak hanya didapatkan melalui kepemilikan ilmu agama yang
tinggi dan iman yang kuat saja, dan hal-hal lain semacamnya, namun dapat juga
diperoleh dengan selalu mengasah ‘hati’ dan indera didalam memaknai, meresapi
dan meng-empati situasi sosio-politik masyarakat yang notabene masih banyak
berada dibawah garis kemiskinan dan terus berharap akan tampilnya figure-figur
jujur yang bersungguh-sungguh dengan apa yang akan dia lakukan dan mampu
melakukan apa yang dia janjikan. Ironi sekali jika pada akhirnya kita harus
berkata bahwa para pelaku korupsi adalah orang-orang yang pantas dipertanyakan
integritasnya. Labih parah lagi jika
kita harus berkata bahwa para koruptor adalah ‘ORANG-ORANG YANG TIDAK PUNYA INTEGRITAS.
Sekian