M.Haris Effendi MSi: From Medan With Dreams

Selamat Datang di Blog Saya. Wadah tumpahan pikiran, renungan, dan rasa dari anak Medan yang insyaAllah sebentar lagi akan mencapai mimpinya menyandang gelar Doktor di bidang science education dari The University of Queensland Brisbane Australia. Silahkan anda membaca tulisan di blog ini semoga ada manfaat yang bisa anda petik darinya. Terimakasih

Tuesday, June 2, 2009

Sebuah Kontemplasi dari Sang Laskar Pelangi

Awalnya hanyalah sebuah realita dari anak-anak desa yang miskin terpinggirkan di salah satu pulau terkaya di Indonesia, Belitung sang penghasil timah. Kemiskinan dan kesederhanan adalah jamak untuk dapat ditemui dikeseharian masyarakat pulau ini dimana terjadi marginalisa antara kelompok “the haves” dan kelompok “marginal”.


Pragmastisme sebagai salah satu hasil dari kapitalisme telah memenjarakan anak-anak dari kaum marginal ini untuk dapat memiliki akses yang sama dan mencicipi lezatnya pendidikan yang pantas dan layak, yang telah dijanjikan oleh UUD 1945, seperti yang dinikmati oleh anggota masyarakat “the haves” lainnya di pulau ini.


Syahdan, sebuah Sekolah Islam tua, reot dengan dinding dan atap yang penuh dengan lobang telah menjadi obat penawar dahaga bagi anak-anak kaum marginal ini untuk dapat sekedar menabur mimpi dan menuai harapan akan masa depan. Namun alangkah disayangkannya proses pendidikan yang sangat diharapkan dapat membantu mereka merajut masa depan harus terhambat akibat kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat sekitar. Ancaman akan ditutupnya wadah pendidikan ini telah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para orang tua kaum miskin ini.


Namun karena kegigihan dan keyakinan beberapa “dewa penolong” yang masih rela mendedikasikan ilmu dan hidupnya bagi kelangsungan masa depan anak-anak yang kurang beruntung ini, maka walau secara tersendat-sendat proses pendidikan masih dapat dipertahankan seadanya walau dengan mempertaruhkan kualitas yang mungkin dapat dicapai.


Kejadian demi kejadian terjadi selama 5 tahun dimana diselingi dengan gelak dan tawa sebagai bumbu penyedab kehidupan khas anak-anak yang buta akan kejamnya dunia dan buasnya pragmatisme. Kreativitas mereka diusung dengan mengandalkan sumber daya alam yang ada dan jauh dari modernisasi sehingga terlihat sangat bersahaja dipandang mata, namun greatly invaluable bagi yang mengerti dan memahami. Mereka mampu mempersembahkan sebuah prestasi bagi sekolah yang mulia ini diantara dominasi sekolah-sekolah kaum “the haves”.


Suatu ketika, kesedihan menghampiri mereka ketika kepala sokolah yang mereka cintai harus pergi selamanya dan kini tinggallah seorang wanita mulia, Muslimah, yang gamang akan langkahnya dalam melanjutkan perjuangan. Yang ragu akan konsistensinya dalam mempertahankan idealisme ditengah kerasnya rayuan materi. Namun……


Anak-anak ini adalah anak-anak luar biasa, anak-anak “rainbow warriors” yang pantang menyerah kala dihempas badai dan tetap tegar menghadang kerasnya gelombang. Mereka maju bersama menghadapi ujian demi ujian. Mereka tetap teguh dalam menghadapi pedihnya cobaan yang datang, dan …………


Sampai pada puncaknya, sang Muslimah terperangah akan tampilnya seorang brilliant diantara “the rainbow warriors”, dialah Lintang sang juara. Lintang yang anak piatu miskin, yang hidup dipinggir laut dengan 3 orang adik perempuan dan seorang ayah nelayan miskin. Yang harus mengurus adik-adiknya dahulu sebelum berangkat kesekolah. Yang harus bersepeda ke sekolah setiap pagi puluham kilometer dan menghadapi ancaman buaya yang menghadangnya dijalan. Sungguh luar biasa…..


Prestasi besar pun ditorehkan atas kerja keras Lintang dan teman-teman. Semua bangga karena sekolah bersahaja itu mampu menjadi juara Cerdas Cermat se pulau Belitung. Mampu menghempaskan kesombongan kaum “the haves” akan hegemoni penguasaan akses dan sumber-sumber pendidikan disana. Mampu untuk membuat arwah Ki Hajar Dewantara tersenyum lebar menyaksikan Sang Laskar Pelangi yang tanpa sepatu menjelaskan hitungan didepan para juri. Mampu untuk membuat para juri minta maaf akan kecurigaan mereka pada sang brilliant muda. Dan juga mampu membuat penonton berdecak kagum dan tertawa akan kepiawaian Lintang dan kecerobohan juri saat itu. Namun….


Nasib berkata lain, ayah yang sangat diharapkan untuk terus dapat menopang kehidupan keluarga harus berpulang kesisi Ilahi secara mendadak. Tinggallah Lintang “sang brilliant” termangu menghadapi kenyataan akan beratnya tangung jawab yang harus ditanggung dalam menjaga dan merawat adik-adiknya. Kenyataan harus putus sekolah telah menjadi sebuah pil pahit yang harus ditelan sang Laskar Pelangi. Tak ada yang dapat menolong termasuk Muslimah. Tak ada yang mampu menolong ditengah kesulitan ekonomi yang sama-sama dirasakan disana.


Namun, dimanakah pemerintah saat itu………………?


Ironi sekali.


Sang Laskar Pelangi pun menjalani hidupnya dengan pasrah dan tawakal. Tak ada jalan keluar dengan beban kehidupan yang menggunung. Semangat setinggi gunung untuk menggapai bintang di langit harus dipendam sedalam-dalamnya, dan …......………. Laskar Pelangi kecil sang brilliant muda, Lintang, akhirnya harus tunduk pada keadaan.


Disarikan secara bebas dari film Laskar Pelangi. Foto saya dengan Andrea Hirata (author) sesaat setelah pemutaran film tsb di University of Queensland, Brisbane.

2 Comments:

At June 3, 2009 at 11:36 PM , Anonymous Ucok harahap said...

Wah saya belum nonton tuh pak.
Tapi dengan membaca resume bapak saya jadi terharu dan pingin nonton nih.

Thansk ya

 
At February 16, 2013 at 8:34 AM , Blogger M.Haris Effendi MSi said...

Seribu kali maaf ya Ucok atas response yang sangat terlambat. Saya selama 2 tahun ini sangat sibut dengan riset saya sehingga lupa membuka blog. tapi insyaallah sebentar lagi kelar kok PhD saya.

thanks atas commentnya.

salam

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home